Translate

share it

.::SELAMAT BERKUNCUNG::.

SALAM BRAFO BLOKING

29 Apr 2010

.:: Arsip untuk ‘Hukum’ Kategori::..

Abepura, Bintang Kejora, ham, Hukum, Jayapura, Kongres, Papua
Deklarasi dari Balik Bui
Di Hukum dalam Rabu, Oktober 8, 2008 pada 4:13 pm
Filep Karma dan Yusak Pakage

Kalapas Abepura Anthonius Ayorbaba, Yusak Pakage dan Filep Karma

Pengibaran Bintang Kejora merupakan bentuk protes terhadap usulan dialog nasional oleh pemerintah Jakarta. Filep Karma dan Yusak pakage mendeklarasikan diri sebagai pemimpin perjuangan.

Saat diwawancarai di ruangan Kalapas Abepura, Minggu, 17 Agustus lalu, Filep Karma dan Yusak Pakage didampingi Kepala Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Anthonius M. Ayorbaba, SH, M.Si dan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Hukum dan HAM, Demianus Rumbiak, SH, mengakui sudah mendengar adanya surat dari anggota kongres Amerika tersebut. Namun sampai dengan saat wawancara, mereka belum menerima dan membacanya.

Read the rest of this entry »
▶ Comment

DPRP, Gubernuur, ham, Jayapura, Komnas, MRP
Mengembalikan Kepercayaan Publik
Di Hukum dalam Minggu, Oktober 5, 2008 pada 3:22 am
Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM Indonesia

Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM Indonesia

Proses pemilihan dan pelantikan anggota Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Provinsi Papua, hingga Agustus 2008 belum juga tuntas. Tiga lembaga penting di Papua, Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang diharapkan ikut berperan dalam proses seleksi anggota Komnas HAM juga sulit duduk bersama, karena masing-masing sibuk dengan urusannya.

Selain itu juga, bakal calon yang diharapkan mendaftar tidak hanya dari wilayah Provinsi Papua, tapi harus juga dari Irianjaya Barat. Tapi pendaftaran yang dibuka sampai dua kali itu sulit memenuhi harapan. Sejak dibuka sampai dilakukan uji kepatutan dan kelayakan, pada awal Agustus lalu di Komisi F DPRP, bakal calon yang mendaftar lebih banyak didominasi oleh mereka yang tinggal di wilayah Jayapura.

.:: kapan lagi kalau bukan sekarang ::.

KBRI cegah masala papua membesar di kongres asia

Kapanlagi.com
- Kedutaan Besar RI di Washington DC kini terus melakukan berbagai langkah agar masalah Papua di parlemen Amerika Serikat tidak membesar atau dibesar-besarkan oleh pihak-pihak tertentu.

"Meskipun perjalanan RUU itu masih jauh untuk bisa menjadi undang-undang, kami tetap akan mewaspadainya," kata Deputy Chief of Mission KBRI di Washington DC,Andri Hadi Senin.

Menurut Andri Hadi, selama ini ada kesalahpahaman mengenai posisi RUU tersebut yang seolah-olah sudah menjadi keputusan di Kongres. Padahal RUU (HR 2601) itu baru menjadi undang-undang jika melewati Senat.

"Di Senat pun RUU-nya harus dibahas dulu," katanya.

Dia mengatakan, tampaknya ada kesengajaan oleh pihak-pihak yang tidak suka pada stabilitas di Indonesia dengan cara "memelintir perkembangan di Kongres tersebut" kepada masyarakat, termasuk kepada masyarakat di Papua.

Oleh sebab itu, katanya, perkembangan di Kongres AS itu tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, namun juga tidak boleh dianggap kecil.

Bagaimanapun, kata Andri Hadi, harus diakui masuknya wacana mengenai Papua di Kongres adalah suatu langkah besar dari pihak yang ingin menyudutkan Indonesia.

Provisi spesifik mengenai Papua yang dicatat dari versi HR 2601 yang berada di Senat saat ini salah satunya menyatakan pengambilan suara yang dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 1969, dimana 1.025 pemimpin Papua memilih secara mutlak atau "unanimus" untuk bergabung dengan Indonesia dipenuhi dengan manipulasi.

RUU ini juga mencatat bahwa dari masa-masa itu banyak terjadi pelanggaran HAM, eksploitasi SDM, perusakan lingkungan, dan dominasi komersial perorangan dan kelompok-kelompok tertentu.

AS menyebut-nyebut angka korban jiwa di kalangan warga Papua lebih dari 100.000 orang.

Andri Hadi mengatakan, langkah-langkah yang kini dilakukan KBRI Washington DC antara lain mencegah jangan sampai wacana Papua tersebut menjadi undang undang.

"Kami terus melakukan lobi ke pihak Senat. Banyak senator yang tetap mendukung Indonesia dalam masalah ini," katanya.

"Memang, tidak semua aktifitas di KBRI kami umumkan ke publik, tapi yang jelas kami di KBRI selalu `all out`(melakukan semua hal, red) dalam diplomasi ke berbagai kalangan di AS. Lobi di Kongres juga terus kami lakukan, misalnya lewat forum 'Friend of Indonesia'," tambahnya.

Sejumlah anggota Kongres yang menggalang dukungan untuk kemerdekaan Papua berasal dari Congressional Black Caucus (CBC), menurut Andri Hadi, kemungkinan juga tidak benar-benar memahami perkembangan positif di Papua saat ini.

"Mereka mungkin hanya ikut tanda tangan saja, tidak memahami situasi Papua yang sebenarnya,` katanya.

Selain itu, jika masalah HAM di Papua yang sering diekspose maka tidak relevan jika kemudian dikaitkan dengan mempermasalahkan NKRI.

Pada saat ini Pemerintah Indonesia sudah memberlakukan Otonomi Khusus bagi Papua sehingga masyarakat di propinsi tersebut memperoleh hak-hak yang lebih besar. Selain itu Pemerintah RI saat ini juga sangat tegas soal penegakan HAM dan tidak akan memberi toleransi kepada para pelanggaran HAM.

Kemajuan-kemajuan tersebut harus diketahui oleh Kongres AS sehingga mereka mengerti kondisi di lapangan.

Seperti diberitakan sebelumnya, salinan dari RUU dari House of Representative tersebut sudah tersebar hingga ke Papua dan seolah-olah mengesankan bahwa pihak-pihak yang menginginkan pemisahan Papua dari Indonesia telah didukung oleh AS.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu juga menyesalkan upaya pihak-pihak tertentu di AS yang ingin mencampuri masalah Papua yang merupakan urusan dalam negeri Indonesia.

.::TABLOIT SUARA PEREMPUAN PAPUA::.

Akar masalah HAM di Papua

PASAL 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa ‘semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan.’
Berdasarkan deklarasi ini, tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang berhak membunuh atau menghilangkan nyawa manusia lain sekehendak hati.

Bila melihat kembali pada sejarah peradaban dunia, Bangsa Romawi sudah memiliki konsep tentang hak bangsa-bangsa, jus gentium. Hak bangsa-bangsa ini berupa aturan-aturan yang berlaku umum dalam semua masyarakat beradab. Kemudian muncul pandangan yang bersifat teologis tentang hukum alam yaitu aturan yang datang dari Tuhan pada abad pertengahan yang mewarnai pandangan gereja pada waktu itu dimana konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan-aturan itu harus dipertanggungjawabkan sendiri pada Tuhan.

Kemudian lahir Magna Carta, 1215 sebagai suatu rangkaian yang membatasi kekuasaan raja dan kaum bangsawan. Untuk pertama kalinya dalam pengertian modern, pengertian hak muncul melalui deklarasi Bill of Right, 1688 melalui apa yang disebut dengan Glorious Revolution di Inggris.

Pada awal pertengahan, kaum intelektual di Eropa mengidentifikasi adanya hak-hak universal seperti: hak bagi orang maupun harta miliknya yang oleh karenanya manusia tidak lagi dikungkung dalam perbudakan.
Hak Asasi Manusia merupakan sesuatu yang menonjol di dalam filsafat, namun dibutuhkan politisi, propagandis dan revolusioner yang sesungguhnya untuk memberikan kekuatan hukum.

Perkembangan kemajuan HAM di negara-negara feodal terus berlanjut yang dengan sendirinya mampu mengecilkan angka perbudakan saat itu sebagai dialektika dalam sejarah perkembangan masyarakat.
Kekuatan dari kritik Karl Marx tentang moral pribadi melalui manifesto komunis pada abad 19 mengantarkan para pemikir Marxis pada abad berikutnya untuk mencirikan HAM sebagai sarana universalisasi nilai-nilai kapitalisme, terutama kebebasan berusaha tanpa tanggung jawab sosial karena pada saat itu negara-negara komunis menunggu hingga hal tersebut menjadi bukti yang menggerakkan dukungan bagi orang-orang yang berhaluan “kiri” pada tahap akhir perang dingin.

Kelahiran Internasional Labour Organization (ILO) adalah langkah awal kemajuan HAM di bidang perburuhan secara global.

Pada dekade 1920-an dan 1930-an yang menakutkan, Liga Bangsa-Bangsa bersifat sangat konservatif, penuh keragu-raguan. Hingga lahirnya hukum fundamental bagi umat manusia ke seluruh dunia yang merupakan sumbangan dari H. G. Wells, seorang penulis Inggris dan rekannya kaum sosialis Inggris.

Amerika Serikat kemudian mengambil kepemimpinan dalam mendorong HAM menjadi bagian dari Piagam PBB, terutama di dalam mukadimah dan aturan atau pasal pertamanya.

Dalam Pasal 1 Piagam PBB tersebut dinyatakan tujuan utama PBB “Untuk mencapai kerjasama internasional dalam menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat ekonomi, sosial, kultural dan kemanusiaan serta memajukan dan mendorong penghargaan terhadap HAM dan demi kebebasan fundamental untuk semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin maupun agama.”

Berdasarkan piagam ini, gerakan HAM di dunia terus bergerak maju menembus batas-batas negara. Gerakan ini sekaligus membangkitkan kesadaran perempuan di berbagai belahan dunia tentang ketertindasannya selama ini hingga lahirlah gerakan perempuan.

Di Indonesia undang-undang tentang HAM lahir dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 walaupun dalam pembukaan UUD 1945 ada kewajiban menghormati HAM yang menjiwai keseluruhan pasal dan batang tubuhnya. Sejarah Indonesia juga mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya.

Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal–dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya–maupun horizontal–antar warga negara sendiri– dan tidak sedikit yang masuk dalam pelanggaran HAM berat.

Pada kenyataannya lebih dari enam puluh tiga tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pengakuan dan penegakkan nilai-nilai HAM masih jauh dari memuaskan. Semakin hari semakin banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Kebutuhan akan hadirnya lembaga negara independen yang mengurusi HAM menjadi mendesak apalagi Indonesia juga telah menandatangani Konvensi HAM di PBB.

Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merupakan angin segar bagi korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia, tapi kekecewaan muncul di tengah rakyat ketika KOMNAS HAM belum mampu melakukan fungsinya dengan maksimal.

Akar Masalah HAM di Papua

Pada 2005 pemerintah Indonesia mendirikan Perwakilan KOMNAS HAM di Papua. Keberadaannya, kemudian menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang ketika Perwakilan KOMNAS HAM selama keberadaannya belum mampu bekerja sesuai harapan rakyat. Kewenangannya belum diberikan sepenuhnya oleh Jakarta, shingga keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM di Papua hanyalah boneka yang ditempatkan Jakarta di Papua agar dunia internasional tahu bahwa pemerintah Indonesia serius menangani persoalan HAM di Papua. Padahal, kenyataannya, tidaklah demikian.

Konflik antara rakyat Papua dengan Indonesia dimulai sebelum dan sesudah PEPERA 1969 ketika rakyat Papua mulai sadar benar dan mengetahui pembatasan HAM rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Akar persoalan derasnya tuntutan rakyat Papua mengenai hak asasinya untuk menentukan nasib sendiri.

Pertama, pengabaian masyarakat internasional dalam pelaksanaan “act of free choice” yang tidak demokratis, tidak adil dan penuh pelanggaran HAM.

Kedua, berbagai pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis (pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan) dan implikasi sosial lainnya (perampasan tanah-tanah adat, perusakan lingkungan, degradasi budaya) sebagai hasil dari militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, pertambangan, HPH, turisme selama berintegrasi dengan Indonesia).

Ketiga, krisis identitas sebagai ras Melanesia di negeri sendiri akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung elemen-elemen genosida, rasisme dan pengabaian terhadap kultur sehingga tingkat pertumbuhan penduduk pribumi Papua sangat lambat.