Translate

share it

.::SELAMAT BERKUNCUNG::.

SALAM BRAFO BLOKING

23 Apr 2010

PELECEHAN TERHADAP ORANG ASLI PAPUA

Penggerebekan Kantor Dewan Adat Papua, Pelecehan Terhadap Harga Diri Orang Asli Papua
PDF Print E-mail
.::OGEYOKA::., 08 April 2009 03:41
0diggsdigg
Image
Puing-puing pondok mahasiswa yang dibakar hingga rata dengan tanah dalam penggerebekan kantor DAP (Foto : JUBI/Victor Mambor)
JUBI---Situasi disekitar Kantor Dewan Adat Papua (DAP) siang itu nampak mencekam. Situasi penuh ketakutan itu berawal dari dibakarnya sebuah pondok dan pengambilan sejumlah berkas dokumen DAP oleh puluhan polisi berseragam lengkap. Benarkah DAP adalah bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM)? Atau hanya dikambinghitamkan oleh oknum tertentu ?

Dari penggeledahan itu aparat kepolisian berhasil membakar sebuah Pondok karyawan yang terletak dibelakang kantor DAP. Peristiwa penggerebekan Kantor DAP di Kelurahan Heram, Distrik Heram, Kota Jayapura itu terjadi pada Jumat pekan kemarin sekitar pukul 11.00 WIT. Saat itu, petugas Direskrim Polda Papua berhasil menyita 2 senjata api laras pendek serta beberapa lembar bendera Bintang Kejora berukuran kecil. Lewat beberapa jam kemudian, Polda Papua kemudian menggelar sebuah jumpa pers terkait penggerebekan kantor DAP. Serasa dibakar jenggot dan difitnah, DAP kemudian menggelar jumpa pers serupa untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut. Namun sayangnya, gelar jumpa pers oleh DAP sudah terlambat. Kesan terhadap DAP telah dipaku kepada masyarakat bahwa lembaga ini telah menyimpan sejumlah dokumen berbahaya. Yang lebih disayangkan adalah tindakan aparat kepolisian yang menyita sejumlah berkas DAP yang sangat jauh dari kesan keterlibatan lembaga ini dengan OPM. Misalnya, pengrusakan terhadap fasilitas Kantor DAP dan pengambilan data yang tersimpan didalam hardisk komputer. Sejumlah laptop diduga juga turut raib dalam penggeledahan tersebut.
Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri, Konsultan Hukum DAP, Iwan Niode, SH serta Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia (AMPTI), Markus Haluk kepada pers di Kantor DAP, Sabtu kemarin mengatakan penggerebekan tersebut tidak sesuai prosedur. Menurut Niode, pihaknya tidak setuju dengan pemberitaan sebuah stasius televisi nasional yang memberitakan saat terjadi penggerebekan Kantor DAP, aparat keamanan berhasil menciduk 15 orang yang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta menyita dua senjata api (senpi), 8 buah anak panah, 1 ikat bendera Bintang Kejora mini , 1 lembar daftar nama gerakan kembali ke tanah air dan 1 buah buku warna merah tentang struktur organisasi tentara revolusi Papua Barat. “Pemberitaan itu terlalu mengada-ada,” tegasnya.
Dikatakan Niode, terkait penangkapan 15 mahasiswa yang dituduh sebagai anggota OPM, pihaknya membantahnya. Dikatakan, 15 mahasiswa yang berada di Kantor DAP saat peristiwa penggerebekan bukan sebagai anggota OPM. “Soal DAP sebagai markas OPM tidak benar karena mahasiswa tak pernah melakukan pelanggaran hukum. Mereka ada di Kantor DAP karena kantor tersebut adalah tempat masyarakat adat dan anak adat berhak berkumpul dan berdiskusi soal pembangunan di Papua sehingga tak perlu memberikan stigma separatis terhadap mereka,” kata Niode.
Lebih lanjut, Niode menuturkan, penyitaan dan penggerebekan suatu tempat yang diduga menyimpan barang-barang yang dianggap berbahaya dan merugikan masyarakat semestinya memperlihatkan surat izin dari Pengadilan Negeri dengan menyertakan minimal dua orang saksi dari lembaga pemerintahan setempat. “Kalau tak ada saksi kita tak tahu apa yang dilakukan saat dilakukan penggerebekan,” katanya
Dari peristiwa penggerebekan itu, ditaksir jumlah kerugian mencapai puluhan juta rupiah. Peristiwa ini membuat sejumlah karyawan DAP yang sedang bekerja berhamburan keluar kantor. “Saya tidak bisa kasih informasi, nanti sudah,” ujar seorang karyawan DAP. Peristiwa penggeledahan ini memang berhasil mencuri perhatian warga yang bermukim di sekitar TKP.
Sementara itu, Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri mengatakan, peristiwa penggerebekan Kantor DAP berawal dari seorang wanita yang sedang berada di Kantor DAP. Tanpa sengaja wanita itu berjumpa seorang yang tak dikenal. Orang itu mengatakan agar segera mengamankan tas yang diletakan diatas meja karena sebentar lagi tempat ini akan digerebek. Saat masuk dan membuka tas, ternyata didalamnya telah ada dua buah senjata api.
Imbiri menegaskan, peristiwa penggerebekan Kantor DAP merupakan keprihatinan terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia dan kegagalan pemerintah sekarang dalam menangani pelbagai persoalan khususnya di Tanah Papua. Tindakan penggerebekan tersebut tak memberikan indikasi jelas kepemilikan senjata api (senpi). Hal ini, lanjut Imbiri, merupakan tindakan pelecehan terhadap masyarakat adat. Aparat keamanan juga, kata dia sebenarnya belum memiliki pemahaman tentang UU Otsus yang intinya memberikan perlindungan bagi orang asli Papua. “Ini merupakan suatu skenario untuk mencemari institusi masyarakat adat. Tetapi saya tak tahu siapa lembaga yang menjalankan skenario tersebut. Saya tak mau menuduh,” ujar Imbiri. Untuk itu, lanjut Imbiri, pihaknya meminta agar aparat keamanan bertanggung jawab terhadap seluruh dokumen DAP yang tak terkait tujuan penggerebekan tersebut segera dikembalikan.

Tindakan Polisi
Pasca penggeledahan kantor DAP, puluhan aparat keamanan langsung berjaga dengan senjata lengkap. Mulai dari depan Gapura Expo, Perumnas I, Waena hingga disekitar Kantor DAP. Tampak 2 truck Brimob Jayapura diparkir dan dikelilingi sejumlah polisi. Setelahnya, razia dan pemeriksaan pun digelar aparat secara kontinyu terhadap warga sipil. Dalam razia tersebut, polisi menyita sajam masing-masing satu ikat panah dan satu busur serta tali jubi.
Uria Robert Keny, salah seorang mahasiswa yang diciduk saat penggerebekan Kantor DAP mengaku, beberapa saat pasca penggerebekan, 15 mahasiswa yang diduga anggota OPM tersebut diikat tangannya dengan tali rafia dan digiring untuk naik diatas kendaraan operasional milik Polda Papua. Ke-15 mahasiswa itu ditahan Polda Jayapura. Tindakan polisi tersebut tidak saja mendapat kritikan dari sejumlah pihak. Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia (AMPTI) bahkan mengecam tindakan itu sebagai pelecehan. Ketua AMPTI, Markus Haluk mengatakan, tindakan aparat keamanan dengan membakar honay (rumah adat Papua) merupakan pelecehan terhadap martabat rakyat Papua. Kantor DAP merupakan simbol harga diri, kultur, roh, alam semesta rakyat Papua. Sehingga pihaknya merasa sangat dilecehkan. ”Kalau ada indikasi tersimpan senpi kasitau secara manusiawi. Ini bukan kantor teroris. Peristiwa ini jangan terulang kembali. Harap ini yang pertama dan terakhir kali,” tutur Haluk.
Senada halnya, Ketua DAP, Forkorus Yaboisembut menuturkan, penggerebekan tersebut merupakan sebuah rekayasa murahan yang sudah basi. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan jebakan kepada DAP sebagai organisasi masyarakat yang vokal dengan pelanggaran-pelangaran HAM yang terjadi di Tanah Papua. Ujungnya, kevokalan tersebut dianggap berbahaya dan membuat Pemerintah Republik Indonesia menjadi takut.
Menurut Forkorus, pihaknya juga telah melaporkan peristiwa penggerebekan Kantor DAP kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta. Bahkan Forkorus mengaku, penggerebekan tersebut awalnya diketahui dari laporan Kedutaan Besar Negeri Paman Sam di Jakarta. “Saya ingin melihat keseriusan aparat penegak hukum untuk memproses hukum oknum mahasiswa yang sengaja menyimpan senjata api di Kantor DAP itu. Jalankan dan hormati hukum, jangan asal main hakim sendiri,” pungkasnya. (Yunus Paelo/Musa Abubar)

Penggerebekan Kantor Dewan Adat Papua, Pelecehan Terhadap Harga Diri Orang Asli Papua


PDF Print E-mail
.::OGEYOKA::., 08 April 2009 03:41
0diggsdigg
Image
Puing-puing pondok mahasiswa yang dibakar hingga rata dengan tanah dalam penggerebekan kantor DAP (Foto : JUBI/Victor Mambor)
JUBI---Situasi disekitar Kantor Dewan Adat Papua (DAP) siang itu nampak mencekam. Situasi penuh ketakutan itu berawal dari dibakarnya sebuah pondok dan pengambilan sejumlah berkas dokumen DAP oleh puluhan polisi berseragam lengkap. Benarkah DAP adalah bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM)? Atau hanya dikambinghitamkan oleh oknum tertentu ?

Dari penggeledahan itu aparat kepolisian berhasil membakar sebuah Pondok karyawan yang terletak dibelakang kantor DAP. Peristiwa penggerebekan Kantor DAP di Kelurahan Heram, Distrik Heram, Kota Jayapura itu terjadi pada Jumat pekan kemarin sekitar pukul 11.00 WIT. Saat itu, petugas Direskrim Polda Papua berhasil menyita 2 senjata api laras pendek serta beberapa lembar bendera Bintang Kejora berukuran kecil. Lewat beberapa jam kemudian, Polda Papua kemudian menggelar sebuah jumpa pers terkait penggerebekan kantor DAP. Serasa dibakar jenggot dan difitnah, DAP kemudian menggelar jumpa pers serupa untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut. Namun sayangnya, gelar jumpa pers oleh DAP sudah terlambat. Kesan terhadap DAP telah dipaku kepada masyarakat bahwa lembaga ini telah menyimpan sejumlah dokumen berbahaya. Yang lebih disayangkan adalah tindakan aparat kepolisian yang menyita sejumlah berkas DAP yang sangat jauh dari kesan keterlibatan lembaga ini dengan OPM. Misalnya, pengrusakan terhadap fasilitas Kantor DAP dan pengambilan data yang tersimpan didalam hardisk komputer. Sejumlah laptop diduga juga turut raib dalam penggeledahan tersebut.
Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri, Konsultan Hukum DAP, Iwan Niode, SH serta Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia (AMPTI), Markus Haluk kepada pers di Kantor DAP, Sabtu kemarin mengatakan penggerebekan tersebut tidak sesuai prosedur. Menurut Niode, pihaknya tidak setuju dengan pemberitaan sebuah stasius televisi nasional yang memberitakan saat terjadi penggerebekan Kantor DAP, aparat keamanan berhasil menciduk 15 orang yang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta menyita dua senjata api (senpi), 8 buah anak panah, 1 ikat bendera Bintang Kejora mini , 1 lembar daftar nama gerakan kembali ke tanah air dan 1 buah buku warna merah tentang struktur organisasi tentara revolusi Papua Barat. “Pemberitaan itu terlalu mengada-ada,” tegasnya.
Dikatakan Niode, terkait penangkapan 15 mahasiswa yang dituduh sebagai anggota OPM, pihaknya membantahnya. Dikatakan, 15 mahasiswa yang berada di Kantor DAP saat peristiwa penggerebekan bukan sebagai anggota OPM. “Soal DAP sebagai markas OPM tidak benar karena mahasiswa tak pernah melakukan pelanggaran hukum. Mereka ada di Kantor DAP karena kantor tersebut adalah tempat masyarakat adat dan anak adat berhak berkumpul dan berdiskusi soal pembangunan di Papua sehingga tak perlu memberikan stigma separatis terhadap mereka,” kata Niode.
Lebih lanjut, Niode menuturkan, penyitaan dan penggerebekan suatu tempat yang diduga menyimpan barang-barang yang dianggap berbahaya dan merugikan masyarakat semestinya memperlihatkan surat izin dari Pengadilan Negeri dengan menyertakan minimal dua orang saksi dari lembaga pemerintahan setempat. “Kalau tak ada saksi kita tak tahu apa yang dilakukan saat dilakukan penggerebekan,” katanya
Dari peristiwa penggerebekan itu, ditaksir jumlah kerugian mencapai puluhan juta rupiah. Peristiwa ini membuat sejumlah karyawan DAP yang sedang bekerja berhamburan keluar kantor. “Saya tidak bisa kasih informasi, nanti sudah,” ujar seorang karyawan DAP. Peristiwa penggeledahan ini memang berhasil mencuri perhatian warga yang bermukim di sekitar TKP.
Sementara itu, Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri mengatakan, peristiwa penggerebekan Kantor DAP berawal dari seorang wanita yang sedang berada di Kantor DAP. Tanpa sengaja wanita itu berjumpa seorang yang tak dikenal. Orang itu mengatakan agar segera mengamankan tas yang diletakan diatas meja karena sebentar lagi tempat ini akan digerebek. Saat masuk dan membuka tas, ternyata didalamnya telah ada dua buah senjata api.
Imbiri menegaskan, peristiwa penggerebekan Kantor DAP merupakan keprihatinan terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia dan kegagalan pemerintah sekarang dalam menangani pelbagai persoalan khususnya di Tanah Papua. Tindakan penggerebekan tersebut tak memberikan indikasi jelas kepemilikan senjata api (senpi). Hal ini, lanjut Imbiri, merupakan tindakan pelecehan terhadap masyarakat adat. Aparat keamanan juga, kata dia sebenarnya belum memiliki pemahaman tentang UU Otsus yang intinya memberikan perlindungan bagi orang asli Papua. “Ini merupakan suatu skenario untuk mencemari institusi masyarakat adat. Tetapi saya tak tahu siapa lembaga yang menjalankan skenario tersebut. Saya tak mau menuduh,” ujar Imbiri. Untuk itu, lanjut Imbiri, pihaknya meminta agar aparat keamanan bertanggung jawab terhadap seluruh dokumen DAP yang tak terkait tujuan penggerebekan tersebut segera dikembalikan.

Tindakan Polisi
Pasca penggeledahan kantor DAP, puluhan aparat keamanan langsung berjaga dengan senjata lengkap. Mulai dari depan Gapura Expo, Perumnas I, Waena hingga disekitar Kantor DAP. Tampak 2 truck Brimob Jayapura diparkir dan dikelilingi sejumlah polisi. Setelahnya, razia dan pemeriksaan pun digelar aparat secara kontinyu terhadap warga sipil. Dalam razia tersebut, polisi menyita sajam masing-masing satu ikat panah dan satu busur serta tali jubi.
Uria Robert Keny, salah seorang mahasiswa yang diciduk saat penggerebekan Kantor DAP mengaku, beberapa saat pasca penggerebekan, 15 mahasiswa yang diduga anggota OPM tersebut diikat tangannya dengan tali rafia dan digiring untuk naik diatas kendaraan operasional milik Polda Papua. Ke-15 mahasiswa itu ditahan Polda Jayapura. Tindakan polisi tersebut tidak saja mendapat kritikan dari sejumlah pihak. Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia (AMPTI) bahkan mengecam tindakan itu sebagai pelecehan. Ketua AMPTI, Markus Haluk mengatakan, tindakan aparat keamanan dengan membakar honay (rumah adat Papua) merupakan pelecehan terhadap martabat rakyat Papua. Kantor DAP merupakan simbol harga diri, kultur, roh, alam semesta rakyat Papua. Sehingga pihaknya merasa sangat dilecehkan. ”Kalau ada indikasi tersimpan senpi kasitau secara manusiawi. Ini bukan kantor teroris. Peristiwa ini jangan terulang kembali. Harap ini yang pertama dan terakhir kali,” tutur Haluk.
Senada halnya, Ketua DAP, Forkorus Yaboisembut menuturkan, penggerebekan tersebut merupakan sebuah rekayasa murahan yang sudah basi. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan jebakan kepada DAP sebagai organisasi masyarakat yang vokal dengan pelanggaran-pelangaran HAM yang terjadi di Tanah Papua. Ujungnya, kevokalan tersebut dianggap berbahaya dan membuat Pemerintah Republik Indonesia menjadi takut.
Menurut Forkorus, pihaknya juga telah melaporkan peristiwa penggerebekan Kantor DAP kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta. Bahkan Forkorus mengaku, penggerebekan tersebut awalnya diketahui dari laporan Kedutaan Besar Negeri Paman Sam di Jakarta. “Saya ingin melihat keseriusan aparat penegak hukum untuk memproses hukum oknum mahasiswa yang sengaja menyimpan senjata api di Kantor DAP itu. Jalankan dan hormati hukum, jangan asal main hakim sendiri,” pungkasnya. (Yunus Paelo/Musa Abubar)

Keragaman jenis Kekerasan

  • Kekerasan yang dilakukan perorangan perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.
  • Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.). [6]
  • Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.)).
  • Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.[7]
  • Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power),[8] merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence)[9] dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.

Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.

Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.

Transkulturasi, karena teknologi modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin dikenal dan diakui peranannya.